Lembut udara malam membelai ujung jilbabnya bunda. Bunda memang cantik juga baik hati dan tak pernah merasakan bosan untuk menasehatiku. Bunda selalu mengingatkan aku untuk berbusana muslimah seperti bunda. Tapi aku tak pernah mengindahkan. Aku merasa anak muda yang berpakaian seperti ini adalah anak yang tertinggal zaman, takut mode. Malam ini kami sedang berkumpul di sebuah Minigarden di halaman rumah yang cukup mewah. Fasilitasnya cukup lengkap untuk ukuran saya, yang mempunyai orangtua Low Profile.
@@@
Ruangan kelas kami tanpa seorang pengajar. Tiada yang berani masuk kelas ini. kami sekelas sangat bandel. Pengajar tidak berani masuk karena mereka pasti akan mendapat perlawanan dariku dan teman-teman. Apalagi aku-lah pemimpin mereka. Teman sekelaspun takut padaku.
Seminggu lagi kami akan menghadapi ulangan semester satu, lalu disusul ujian akhir sekolah. Mau tidak mau aku harus siap. Akupun berprinsip ujian kali ini aku tidak boleh gagal. Masa aku harus mengulang 2 kali di kelas 3 SMP ini.
SMP N 3 Nusa Bangsa mengadakan bakti bersih. Semua murid dan para guru membersihkan lingkungan sekolah. Semua bekerja kecuali aku. Aku malah asyik dikantin makan Bakso.
@@@
“Bunda.....,” panggilku ketika kakiku melangkah ke pintu gerbang ke rumah di suatu siang yang cukup terik. Tapi aku tak mendengar jawaban dari dalam rumah. Dengan dongkol aku menerobos masuk rumah.
“Bunda kenapa??,” pekik mulutku panik saat melihat bunda terkapar pingsan dengan mulut penuh darah di lantai dasar.
“Bunda... Bunda... Bangun...”
Akupun menggoncang-goncangkan tubuhnya sekuat tenagaku, tapi bundaku itu tidak bangun. Akupun berlari ke sudut ruangan dan mencari gagang telefon, aku mau menghubungi ayah yang sekarang di kantor. Begitu telefon tersambung aku menceritakan semuanya pada ayah. Alhamdulillah ayah segera mengerti. Aku harus menunggu ayah datang untuk membawa bunda ke rumah sakit. Aku tak boleh melangkah sendiri. Sebisa mungkin aku mencoba menyadarkan bunda. Ku mulai cemas saat tidak ada perubahan pada diri bunda. Ia tetap diam terkapar.
@@@
Ayahku kelihatan panik. Tapi ia tak tinggal diam. Di bawanya bunda ke rumah sakit. Aku hanya diam dengan kenakalanku.
Sabtu siang pulang dari sekolah, kusisiri trotoar jalan yang mengekang. Tujuanku ke rumah sakit dimana bundaku di rawat.
Di sebuah ruangan dingin dan sunyi ayah duduk terdiam. Ayah menatap kedatanganku dengan sikap diamnya. Dengan tampilan yang acak-acakkan tak karuan aku melangkah di depan ayah dan ke kamar bunda. Aku kaget seketika, kenapa semua selang kesehatan semua sudah di turunkan, tak ada lagi oksigen yang kemarin silam aku pandang. Yang kulihat saat ini bundaku tercinta dibaringkan di sebuah ranjang di rumah sakit berselimut kain mori yang putih.
“Ayah bunda kenapa? Kenapa selang kesehatan semua diturunkan??” tanyaku cemas. Tapi ayah hanya diam. Pelan ku sibak selimut, dengan terperanjat kaget aku menjerit,
“Bunda.....”
“Bunda tidak tertolong. Leukimianya kambuh dan membawa kematiannya. Mau tidak mau kamu harus merelakan kepergian bundamu,” kata ayah mengagetkanku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bundaku telah meninggal. Kelu kakiku tak mampu melangkah “Bunda.... kenapa kau pergi ketika aku belum sempat meminta maaf padamu?? Aku ingin memperbaiki salahku bunda.... aku janji bunda... bunda.... jangan tidanggalkan aku.....,” teriakku histeris aku mencoba memegang tangannya yang terlihat sangat dingin pucat pasi. Tiba-tiba mataku kabur dan aku merasa tubuhku ringan melayang jatuh. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku saat ini. Yang jelas tujuanku hari ini, aku ingin meminta maaf pada bundaku.
@@@
Dua minggu setelah bundaku meninggal aku berusaha menepis bayang-bayang bunda yang melekat di pelupuk mataku. Memang tidak mudah. Aku sangat teringat nasehat bundaku yang membekas di telinga bandelku.
Malam purnama sayu ini aku terduduk lesu di pinggiran tempat tidur, menatap ke luar menembus malam mencoba menyapa bintang dengan akalku. Tiba-tiba sosok bayangan ayah berjalan mendekatiku lalu duduk di sampingku. Lalu ayah bertanya “Setelah kepergian bunda, masihkah Aini nakal dan berani pada ayah,” kata ayah dengan mata berkaca-kaca. Akupun menoleh dan memeluk Ayah sambil berkata “Aini nggak nakal ayah.. Aini mau berubah.. Aini ingin membahagiakan Bunda dan Ayah...,” kataku lalu menangis.
Ayahku memelukku erat. “Sayang besok siang kamu harus lihat ya di gudang belakang.... nanti kamu akan tahu penyebab kambuhnya sakitnya Bundamu, bunda terlalu keras memikirkanmu,” kata ayahku lalu pergi meninggalkan aku. Akupun kecewa. “Kenapa ayahku begitu?” aku mengikuti ayahku ke luar kamar. Aku mengekorinya. Ayahku bergerak ke kamar lalu menengkurapkan tubuhnya di Bed tidur, aku mengintip dari luar. Ayahku menangis!!!, akupun ingin tahu, ada apa sebenarnya? Tidak seperti biasanya ayahku menangis. Kenapa ayah menangis tidak ketika bunda meninggal? Kenapa baru sekarang ayah menangis? Dan kenapa ayah kelihatan kecewa dengan ku? Pertanyaan itu berputar-putar di benakku. Aku teringat pesan ayah tadi... “Besok siang aku harus melihat gudang, kata ayah, aku akan tahu penyebab utama kambuhnya penyakit Bunda. Aku segera berlari ke gudang belakang, aku tak menunggu besok siang aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kunyalakan lampu senter yang ku bawa. Sampai di sana aku tak melihat sesuatupun yang mencurigakan, aku hanya melihat ada bekas darah di sini. Mataku mengarah ke segala isi gudang. Tiba-tiba mataku menatap 2 buah kardus berukuran besar terlihat acak-acakan talinya. Aku mendekati kardus itu, dan ku angkat ku bawa ke kamar. Dua kardus sekaligus. Berat sekali.
Tanpa pikir panjang lagi aku membawa kardus itu ke kamar. Pelan kututup pintu kamar dan tanganku mulai membongkar tali-tali yang mengingat erat kardus itu.
“Huft....!” dan aku sukses membuka tali itu satu persatu, “Apa..????? alangkah kagetnya aku ketika melihat kelima Buku Diary-ku tempatku menyimpan segala kebohonganku selama ini ada di kerdus ini. Yang lainnya berupa lembaran ulangan harianku yang selalu mendapat nilai MERAH dan tak ada yang lain. Berarti sebelum almarhum ibuku meninggal ia telah tahu kalau selama ini aku telah berbuat kebohongan. Aku menipu kedua orang tuaku. Aku pura-pura sekolah padahal di sekolah aku tak pernah diajar guru karena semua guru takut kena tantangan kami. “Ya Allah, maafkan aku,” ku hempaskan tubuhku di Bed dan akupun menangis...., “Aku ingin berubah! Tekadku aku harus lebih baik dari kemarin!, maafkan aku Bunda...., aku menyesal melakukan semua kebodohan ini... Jadi bundaku tercinta penyakitnya kambuh karena ulahku. Astagfirullah....
Oleh: Dzikrina Mutiara Yasmin
@@@
Ruangan kelas kami tanpa seorang pengajar. Tiada yang berani masuk kelas ini. kami sekelas sangat bandel. Pengajar tidak berani masuk karena mereka pasti akan mendapat perlawanan dariku dan teman-teman. Apalagi aku-lah pemimpin mereka. Teman sekelaspun takut padaku.
Seminggu lagi kami akan menghadapi ulangan semester satu, lalu disusul ujian akhir sekolah. Mau tidak mau aku harus siap. Akupun berprinsip ujian kali ini aku tidak boleh gagal. Masa aku harus mengulang 2 kali di kelas 3 SMP ini.
SMP N 3 Nusa Bangsa mengadakan bakti bersih. Semua murid dan para guru membersihkan lingkungan sekolah. Semua bekerja kecuali aku. Aku malah asyik dikantin makan Bakso.
@@@
“Bunda.....,” panggilku ketika kakiku melangkah ke pintu gerbang ke rumah di suatu siang yang cukup terik. Tapi aku tak mendengar jawaban dari dalam rumah. Dengan dongkol aku menerobos masuk rumah.
“Bunda kenapa??,” pekik mulutku panik saat melihat bunda terkapar pingsan dengan mulut penuh darah di lantai dasar.
“Bunda... Bunda... Bangun...”
Akupun menggoncang-goncangkan tubuhnya sekuat tenagaku, tapi bundaku itu tidak bangun. Akupun berlari ke sudut ruangan dan mencari gagang telefon, aku mau menghubungi ayah yang sekarang di kantor. Begitu telefon tersambung aku menceritakan semuanya pada ayah. Alhamdulillah ayah segera mengerti. Aku harus menunggu ayah datang untuk membawa bunda ke rumah sakit. Aku tak boleh melangkah sendiri. Sebisa mungkin aku mencoba menyadarkan bunda. Ku mulai cemas saat tidak ada perubahan pada diri bunda. Ia tetap diam terkapar.
@@@
Ayahku kelihatan panik. Tapi ia tak tinggal diam. Di bawanya bunda ke rumah sakit. Aku hanya diam dengan kenakalanku.
Sabtu siang pulang dari sekolah, kusisiri trotoar jalan yang mengekang. Tujuanku ke rumah sakit dimana bundaku di rawat.
Di sebuah ruangan dingin dan sunyi ayah duduk terdiam. Ayah menatap kedatanganku dengan sikap diamnya. Dengan tampilan yang acak-acakkan tak karuan aku melangkah di depan ayah dan ke kamar bunda. Aku kaget seketika, kenapa semua selang kesehatan semua sudah di turunkan, tak ada lagi oksigen yang kemarin silam aku pandang. Yang kulihat saat ini bundaku tercinta dibaringkan di sebuah ranjang di rumah sakit berselimut kain mori yang putih.
“Ayah bunda kenapa? Kenapa selang kesehatan semua diturunkan??” tanyaku cemas. Tapi ayah hanya diam. Pelan ku sibak selimut, dengan terperanjat kaget aku menjerit,
“Bunda.....”
“Bunda tidak tertolong. Leukimianya kambuh dan membawa kematiannya. Mau tidak mau kamu harus merelakan kepergian bundamu,” kata ayah mengagetkanku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bundaku telah meninggal. Kelu kakiku tak mampu melangkah “Bunda.... kenapa kau pergi ketika aku belum sempat meminta maaf padamu?? Aku ingin memperbaiki salahku bunda.... aku janji bunda... bunda.... jangan tidanggalkan aku.....,” teriakku histeris aku mencoba memegang tangannya yang terlihat sangat dingin pucat pasi. Tiba-tiba mataku kabur dan aku merasa tubuhku ringan melayang jatuh. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku saat ini. Yang jelas tujuanku hari ini, aku ingin meminta maaf pada bundaku.
@@@
Dua minggu setelah bundaku meninggal aku berusaha menepis bayang-bayang bunda yang melekat di pelupuk mataku. Memang tidak mudah. Aku sangat teringat nasehat bundaku yang membekas di telinga bandelku.
Malam purnama sayu ini aku terduduk lesu di pinggiran tempat tidur, menatap ke luar menembus malam mencoba menyapa bintang dengan akalku. Tiba-tiba sosok bayangan ayah berjalan mendekatiku lalu duduk di sampingku. Lalu ayah bertanya “Setelah kepergian bunda, masihkah Aini nakal dan berani pada ayah,” kata ayah dengan mata berkaca-kaca. Akupun menoleh dan memeluk Ayah sambil berkata “Aini nggak nakal ayah.. Aini mau berubah.. Aini ingin membahagiakan Bunda dan Ayah...,” kataku lalu menangis.
Ayahku memelukku erat. “Sayang besok siang kamu harus lihat ya di gudang belakang.... nanti kamu akan tahu penyebab kambuhnya sakitnya Bundamu, bunda terlalu keras memikirkanmu,” kata ayahku lalu pergi meninggalkan aku. Akupun kecewa. “Kenapa ayahku begitu?” aku mengikuti ayahku ke luar kamar. Aku mengekorinya. Ayahku bergerak ke kamar lalu menengkurapkan tubuhnya di Bed tidur, aku mengintip dari luar. Ayahku menangis!!!, akupun ingin tahu, ada apa sebenarnya? Tidak seperti biasanya ayahku menangis. Kenapa ayah menangis tidak ketika bunda meninggal? Kenapa baru sekarang ayah menangis? Dan kenapa ayah kelihatan kecewa dengan ku? Pertanyaan itu berputar-putar di benakku. Aku teringat pesan ayah tadi... “Besok siang aku harus melihat gudang, kata ayah, aku akan tahu penyebab utama kambuhnya penyakit Bunda. Aku segera berlari ke gudang belakang, aku tak menunggu besok siang aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kunyalakan lampu senter yang ku bawa. Sampai di sana aku tak melihat sesuatupun yang mencurigakan, aku hanya melihat ada bekas darah di sini. Mataku mengarah ke segala isi gudang. Tiba-tiba mataku menatap 2 buah kardus berukuran besar terlihat acak-acakan talinya. Aku mendekati kardus itu, dan ku angkat ku bawa ke kamar. Dua kardus sekaligus. Berat sekali.
Tanpa pikir panjang lagi aku membawa kardus itu ke kamar. Pelan kututup pintu kamar dan tanganku mulai membongkar tali-tali yang mengingat erat kardus itu.
“Huft....!” dan aku sukses membuka tali itu satu persatu, “Apa..????? alangkah kagetnya aku ketika melihat kelima Buku Diary-ku tempatku menyimpan segala kebohonganku selama ini ada di kerdus ini. Yang lainnya berupa lembaran ulangan harianku yang selalu mendapat nilai MERAH dan tak ada yang lain. Berarti sebelum almarhum ibuku meninggal ia telah tahu kalau selama ini aku telah berbuat kebohongan. Aku menipu kedua orang tuaku. Aku pura-pura sekolah padahal di sekolah aku tak pernah diajar guru karena semua guru takut kena tantangan kami. “Ya Allah, maafkan aku,” ku hempaskan tubuhku di Bed dan akupun menangis...., “Aku ingin berubah! Tekadku aku harus lebih baik dari kemarin!, maafkan aku Bunda...., aku menyesal melakukan semua kebodohan ini... Jadi bundaku tercinta penyakitnya kambuh karena ulahku. Astagfirullah....
Oleh: Dzikrina Mutiara Yasmin
QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
BalasHapus-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 7 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsa
• Domino99
• Poker
• Bandarpoker.
• Sakong
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : D60E4A61
• BB : 2B3D83BE