This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

PUDARNYA PESONA CLEOPATRA by HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY

Pada dasarnya, seorang laki-laki berkecenderungan untuk memilih wanita yang cantik. Sedangkan wanita, berkencenderungan untuk memilih laki-laki yang berharta. Maka, kalau seseorang punya anak laki-laki atau saudara laki-laki, mau menikah, maka pertanyaan yang sering muncul adalah “Calon istrimu cantik atau tidak” dan jarang ada pertanyaan “Calon istrimu kerjanya dimana”.


Begitu juga sebaliknya, kalau seseorang punya anak perempuan atau saudara perempuan mau menikah, maka pertanyaan yang sering muncul adalah “Calon suamimu kerjanya dimana” dan jarang ada pertanyaan “Calon suamimu ganteng atau tidak”.

Kalau kita mau jujur, sebagai seorang laki-laki, ingin menikah, juga berkecenderungan mencari wanita yang cantik. Begitu juga sebaliknya, kalau kita sebagai wanita, berkecenderungan mencari laki-laki yang berharta. Minimal, laki-laki itu sudah berpenghasilan yang diharapkan bisa menghidupi keluarga. Gambaran pelajaran dari Novel “Pudarnya Pesona Cleopatra” yaitu Novel Psikologi Pembangun jiwa, karangan Habiburrahman El Shirazy, Penulis Novel best seller Ayat-ayat cinta, semoga bisa jadi renungan bagi kita bersama.

Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu.”Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu”, ucap beliau dengan nada mengiba.

Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai.

Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah.

Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan hiburan group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing.

Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja.Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ”tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga”.

Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, “ kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku.

Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman.

Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe”. Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. “Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.”Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkanaku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. “Maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja.

“Mbak! Eh maaf, maksudku… Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!”sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Terima kasih dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. “Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.

Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. kecantikan aura titisan Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri didunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan ibundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia.

Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku dimata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. “Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. “Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.

Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. “Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan keenam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, “Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, nomor pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku nggak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ”Dengan orang mana?. “Orang Jawa”. “Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. “Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. “Kenapa dengan Bapak?” “Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. “Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini”.

Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predkat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada denganYasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan.

Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun, tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengin rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka.

Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.

Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan. “Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku,tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong.

Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran.

Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan.

YaRabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu.

Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya?

Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya.

Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya.

Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu.

Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luarbiasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku.

Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihana tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan airmataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap airmataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telahterjadi.” Raihana istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya”. “Ada apa dengan dia”. “Dia telah tiada”. “Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya”. Hatiku bergetar hebat. “Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untukmenjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada.

Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah kami”. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.

Inilah hidup, kadang-kadang kita menginginkan sesuatu, tapi tidak baik menurut Allah swt, dan kadang-kadang kita tidak menginginkan sesuatu, tapi baik menurut Allah swt. Jadi hidup ini adalah biarlah Tuhan yang merencanakan kehidupan kita, sebab Tuhan lebih tahu dari kita. Tugas kita adalah berusaha yang terbaik, dan selalu menerima keyakinan dengan lapang dada, kalau pilihan Tuhan, pasti terbaik.
»»  Teruske Moco Yuk....

MATAKU ENGGAN TERPEJAM

Dalam hening berbicaralah naluriku. Memutar durasi waktu malam yang mengerikan. Teriakan hewan malam yang lantang seakan menegangkan dan menambah kegalauan. Semilir angin malam beradu memutar pusar malam dengan berbagai kejadian. Semua masih terdengar di telingaku. Itu pertanda bahwa aku tak dapat memejamkan mata.

“Ya Rabb....,” mata ini seakan sulit untuk kupejamkan. Sakit dan perihnya pelupuk mata kupaksakan. Sembab rasanya saat kantuk tak jua tiba!

“Saudaraku.... Betapa sangat berharganya karunia Allah untuk kita... rasa kantuk, rasa lapar, kemampuan untuk bernafas dengan sempurna, kemampuan untuk bicara dengan sempurna, kemampuan untuk tertawa lepas menghibur lara.... coba kita bayangkan! Seandainya dalam hidup ini kita hanya mempunyai salah satu dari nikmat tersebut betapa limpungnya kita.... seandainya dalam hidup ini kita tidak mendapatkan salah satu nikmat itu betapa susahnya hidup ini?? Inilah menjadi bahan perenungan kita bersama.....” Suara penyiar radio di program Muhasabah membuatku tercenung. Kini aku mengalami salah satu problema yang belum terpecahkan.

Ingin sekali aku segera tertidur dalam buai malam yang indah, bermimpi bertemu orang-orang tercinta, dan bangun esok hari dengan semangat saat segala asa menghadang titian jiwa.

***

Kukuruyukk.... kukuruyuukkk

Kokok ayam jantan terdengar jelas di telingaku. Itu berarti aku tak mampu pejamkan mata hingga pagi menjelma. Lantas aku terbangun dari kepura-puraan tidurku. Aku belum mampu terpejam walau sekejap! Betapa tersiksanya diriku. Lelah sudah aku menata mata. Letih sudah aku berdusta untuk tidur dengan pura-pura. Bosan sudah aku tidur dengan jiwa yang masih terus bicara. Aku ingin tidur dengan sempurna dan tenang bersama rasa kantuk yang mendera. Tapi kapankah ia datangnya???

***

“Sampai kapan aku seperti ini Nti?”

“Nti ga tau mbak.... apa yang kau fikirkan?”

“Aku tiada tau, tapi sungguh! Aku amat menderita, tidurku di kamar hanya pura-pura, aku tak dapat menikmati lezatnya berbaring, berbantalkan rahmat dan karunia Allah Nti...., Nti tau maksud anna?”

“Jangan.... jangan...”

“Jangan.... jangan.... apa Nti,” sahutku menyelidik.

“Mbak Ratih yang gag menjaga kebersihan. Bantalnya bau, selimutnya kotor, itu mempengaruhi lo mbak....,” binar kata Yanti padaku.

“Enak aja... Sori lah yaw... Harum atuh baunya...”

“Ruangan kamarnya yang dekil??”

“Sori ukht!! Clean!! Tapi sungguh aku tak bisa tidur. Aku hanya membolak-balikkan tubuh dengan sandiwara yang letih. Hingga aku menangis meratap ke Allah... tapi tak datang!! Aku harus gimana Nti??”

“Kebanyakan kafein ya?”

“Enggak! Aku gag pernah mencicipi hal sedemikian,” lanjutku membela diri.

“Kalau begitu aku tahu sebabnya...,”

“Apa??”

“Kasmaran ma ikhwan!”

“Enggak ukhti, aku tidak sedang kasmaran, kasmaran dengan ikhwan mana?? Siapa??”

“Mana aku tau! Kan ya mbak sendiri yang ngejalani,”

“Tolong Yan... beri aku solusi,”

“Ini solusi yang sadis ya... pake bawang... di potong tyus di colekkan ke mata, ntar perih, trus nangis... dan ujung-ujungnya terpejam terus dan akhirnya tidur,” solusi Yanti yang mengejutkanku.

“Itu tips sehat atau penyiksaan?? Aku ingin tidur sewajarnya ngerti!” pupusku. Sementara Yanti tetap senyum-senyum menatapku.

***

Masih sama.

Sudah 4 hari ini aku bersandiwara dalam limpung di atas bed yang bisu. Tak ada yang aku fikirkan! Aku tidak dalam kelaparan, tapi... rasa kantuk itulah tak kunjung datang.

“Masih hidupkah aku?? Hingga aku tak punya kantuk... masih wajarkan diriku? Ya Allah... dalam keadaan susah seperti ini aku baru mengingatmu... itulah sifat burukku,”

Kembali memoriku berputar. Membayangkan betapa indahnya tidur. Ketika esok hari ku bangun, hadirlah cerah sang surya membangun diri dengan penuh dengan kemenangan dan segala harapan. Tapi dimanakah rasa kantuk yang kurindukan ini???

Posisi tidur dan suasana di kamar tidur telah aku ubah menjadi istana kecil tempat aku bernaung. Tapi hasilnya?? Nihil! Jangankan tidur, terpejam saja tidak. Akalku lelah mencari ide-ide brilian untuk ciptakan kantuk. Tapi ternyata tak bisa. “Allah... aku rindu kantuk!”

***

“Anna tersiksa ummi....”

“Nah sekarang apa yang dapat kamu ambil hikmah?? Sebuah pelajaran bagi hidupmu, belum bisa tidur dalam hitungan hari kamu sudah tidak karuan, apalagi kalau bertahun-tahun kamu seperti ini. Sekarang kamu baru sadar kan,, betapa nikmat Allah itu melimpah, ngantuk itu nikmat.... jangan kamu sepelekan...,” celoteh ummi dengan menatapku gemas.

“Tapi ummi....”

“Dulu kamu sering menyepelekan orang yang susah tidur, mengejek orang dengan menuduhnya macam-macam, sekarang kamu sendiri yang menjalani, seharusnya kamu berfikir sampai kesitu, dan mengambil ibroh dari ini semua,” ummi menegaskan.

“Iya ummi, aku sadar... betapa menderitanya hidup tanpa tidur... baru kali ini aku sadar ummi... betapa nikmat Allah yang diberikan padaku... tapi bagaimana ummi...???” sesalku. Aku masih duduk gusar di hadapan perempuan bermata teduh itu.

“Sudah kamu mencoba dengan membaca buku? Atau menulis?? Sesuatu yang berurusan dengan pena,”

“Sudah Ummi.... tapi sama ajah, aku sudah mencoba tips-tips agar aku bisa tidur, tapi tak jua berhasil, anna bingung ummi....,” kataku lagi.

“Apa yang harus aku lakukan ummi??” pelan kataku menatap bola mata ummiku.

“Ummi tidak tau Nak... hakekatnya yang memberi kantuk itu Allah, bukan ummi. Kalau kamu sudah usaha, tak ada cara lain selain berdoa,” pupus ummi lalu berlalu dari hadapanku.

Aku hanya bingung. Sinar mentari masih bersinar di ufuk barat menerobos celah fentilasi udara menghangatkan suasana. Cahayanya mengirim ketenangan. Aku menatap cahayanya, air mataku melelah pelan. Angin senjam membawa wartanya, bahwa malam akan segera bertandang. Masih ada satu yang aku tunggu, rasa kantuk untuk melebur lelahku.... rasa kantuk untuk mengobati perihnya deritaku....

“Ya Allah ... betapa agungnya kuasa-Mu, betapa berartinya kantuk untuk hidupku.... Betapa besarnya manfaat tidur untuk malam-malamku... maafkan aku Ya Allah.... segera kirimkan kantuk untukku.....,” sepucuk doa kulantunkan di ujung shalat magribku. Kulipat mukena dan sajadahku... mulutku masih berzikir pelan... sementara ragaku masih menunggu. Menunggu... menunggu dan menunggu rasa kantuk menghampiriku.... Ya Allah aku tetap menunggu datangnya satu nikmat-Mu ini....


Karya: Dzikirna Mutiara Yasmin

»»  Teruske Moco Yuk....

KETIKA BUNDA PERGI

Namaku Aini Nurrahman. Gadis 16 belas tahun yang sangat bandel, nakal, dan hampir semua sifat buruk aku yang memiliki. Aku sering bermanja-manja kepada Bundaku, Umi Muclis. Karena kebiasaanku itu ayahnya Irawan Salim juga turut berlaku manja padaku, apalagi aku anak satu-satunya mereka. Jadi aku dianakemaskan oleh mereka. Di suatu malam dengan di sinari cahaya rembulan yang bersinar sempurna.


Lembut udara malam membelai ujung jilbabnya bunda. Bunda memang cantik juga baik hati dan tak pernah merasakan bosan untuk menasehatiku. Bunda selalu mengingatkan aku untuk berbusana muslimah seperti bunda. Tapi aku tak pernah mengindahkan. Aku merasa anak muda yang berpakaian seperti ini adalah anak yang tertinggal zaman, takut mode. Malam ini kami sedang berkumpul di sebuah Minigarden di halaman rumah yang cukup mewah. Fasilitasnya cukup lengkap untuk ukuran saya, yang mempunyai orangtua Low Profile.

@@@

Ruangan kelas kami tanpa seorang pengajar. Tiada yang berani masuk kelas ini. kami sekelas sangat bandel. Pengajar tidak berani masuk karena mereka pasti akan mendapat perlawanan dariku dan teman-teman. Apalagi aku-lah pemimpin mereka. Teman sekelaspun takut padaku.

Seminggu lagi kami akan menghadapi ulangan semester satu, lalu disusul ujian akhir sekolah. Mau tidak mau aku harus siap. Akupun berprinsip ujian kali ini aku tidak boleh gagal. Masa aku harus mengulang 2 kali di kelas 3 SMP ini.

SMP N 3 Nusa Bangsa mengadakan bakti bersih. Semua murid dan para guru membersihkan lingkungan sekolah. Semua bekerja kecuali aku. Aku malah asyik dikantin makan Bakso.

@@@

“Bunda.....,” panggilku ketika kakiku melangkah ke pintu gerbang ke rumah di suatu siang yang cukup terik. Tapi aku tak mendengar jawaban dari dalam rumah. Dengan dongkol aku menerobos masuk rumah.

“Bunda kenapa??,” pekik mulutku panik saat melihat bunda terkapar pingsan dengan mulut penuh darah di lantai dasar.

“Bunda... Bunda... Bangun...”

Akupun menggoncang-goncangkan tubuhnya sekuat tenagaku, tapi bundaku itu tidak bangun. Akupun berlari ke sudut ruangan dan mencari gagang telefon, aku mau menghubungi ayah yang sekarang di kantor. Begitu telefon tersambung aku menceritakan semuanya pada ayah. Alhamdulillah ayah segera mengerti. Aku harus menunggu ayah datang untuk membawa bunda ke rumah sakit. Aku tak boleh melangkah sendiri. Sebisa mungkin aku mencoba menyadarkan bunda. Ku mulai cemas saat tidak ada perubahan pada diri bunda. Ia tetap diam terkapar.

@@@

Ayahku kelihatan panik. Tapi ia tak tinggal diam. Di bawanya bunda ke rumah sakit. Aku hanya diam dengan kenakalanku.

Sabtu siang pulang dari sekolah, kusisiri trotoar jalan yang mengekang. Tujuanku ke rumah sakit dimana bundaku di rawat.

Di sebuah ruangan dingin dan sunyi ayah duduk terdiam. Ayah menatap kedatanganku dengan sikap diamnya. Dengan tampilan yang acak-acakkan tak karuan aku melangkah di depan ayah dan ke kamar bunda. Aku kaget seketika, kenapa semua selang kesehatan semua sudah di turunkan, tak ada lagi oksigen yang kemarin silam aku pandang. Yang kulihat saat ini bundaku tercinta dibaringkan di sebuah ranjang di rumah sakit berselimut kain mori yang putih.

“Ayah bunda kenapa? Kenapa selang kesehatan semua diturunkan??” tanyaku cemas. Tapi ayah hanya diam. Pelan ku sibak selimut, dengan terperanjat kaget aku menjerit,

“Bunda.....”

“Bunda tidak tertolong. Leukimianya kambuh dan membawa kematiannya. Mau tidak mau kamu harus merelakan kepergian bundamu,” kata ayah mengagetkanku.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bundaku telah meninggal. Kelu kakiku tak mampu melangkah “Bunda.... kenapa kau pergi ketika aku belum sempat meminta maaf padamu?? Aku ingin memperbaiki salahku bunda.... aku janji bunda... bunda.... jangan tidanggalkan aku.....,” teriakku histeris aku mencoba memegang tangannya yang terlihat sangat dingin pucat pasi. Tiba-tiba mataku kabur dan aku merasa tubuhku ringan melayang jatuh. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku saat ini. Yang jelas tujuanku hari ini, aku ingin meminta maaf pada bundaku.

@@@

Dua minggu setelah bundaku meninggal aku berusaha menepis bayang-bayang bunda yang melekat di pelupuk mataku. Memang tidak mudah. Aku sangat teringat nasehat bundaku yang membekas di telinga bandelku.

Malam purnama sayu ini aku terduduk lesu di pinggiran tempat tidur, menatap ke luar menembus malam mencoba menyapa bintang dengan akalku. Tiba-tiba sosok bayangan ayah berjalan mendekatiku lalu duduk di sampingku. Lalu ayah bertanya “Setelah kepergian bunda, masihkah Aini nakal dan berani pada ayah,” kata ayah dengan mata berkaca-kaca. Akupun menoleh dan memeluk Ayah sambil berkata “Aini nggak nakal ayah.. Aini mau berubah.. Aini ingin membahagiakan Bunda dan Ayah...,” kataku lalu menangis.

Ayahku memelukku erat. “Sayang besok siang kamu harus lihat ya di gudang belakang.... nanti kamu akan tahu penyebab kambuhnya sakitnya Bundamu, bunda terlalu keras memikirkanmu,” kata ayahku lalu pergi meninggalkan aku. Akupun kecewa. “Kenapa ayahku begitu?” aku mengikuti ayahku ke luar kamar. Aku mengekorinya. Ayahku bergerak ke kamar lalu menengkurapkan tubuhnya di Bed tidur, aku mengintip dari luar. Ayahku menangis!!!, akupun ingin tahu, ada apa sebenarnya? Tidak seperti biasanya ayahku menangis. Kenapa ayah menangis tidak ketika bunda meninggal? Kenapa baru sekarang ayah menangis? Dan kenapa ayah kelihatan kecewa dengan ku? Pertanyaan itu berputar-putar di benakku. Aku teringat pesan ayah tadi... “Besok siang aku harus melihat gudang, kata ayah, aku akan tahu penyebab utama kambuhnya penyakit Bunda. Aku segera berlari ke gudang belakang, aku tak menunggu besok siang aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kunyalakan lampu senter yang ku bawa. Sampai di sana aku tak melihat sesuatupun yang mencurigakan, aku hanya melihat ada bekas darah di sini. Mataku mengarah ke segala isi gudang. Tiba-tiba mataku menatap 2 buah kardus berukuran besar terlihat acak-acakan talinya. Aku mendekati kardus itu, dan ku angkat ku bawa ke kamar. Dua kardus sekaligus. Berat sekali.

Tanpa pikir panjang lagi aku membawa kardus itu ke kamar. Pelan kututup pintu kamar dan tanganku mulai membongkar tali-tali yang mengingat erat kardus itu.

“Huft....!” dan aku sukses membuka tali itu satu persatu, “Apa..????? alangkah kagetnya aku ketika melihat kelima Buku Diary-ku tempatku menyimpan segala kebohonganku selama ini ada di kerdus ini. Yang lainnya berupa lembaran ulangan harianku yang selalu mendapat nilai MERAH dan tak ada yang lain. Berarti sebelum almarhum ibuku meninggal ia telah tahu kalau selama ini aku telah berbuat kebohongan. Aku menipu kedua orang tuaku. Aku pura-pura sekolah padahal di sekolah aku tak pernah diajar guru karena semua guru takut kena tantangan kami. “Ya Allah, maafkan aku,” ku hempaskan tubuhku di Bed dan akupun menangis...., “Aku ingin berubah! Tekadku aku harus lebih baik dari kemarin!, maafkan aku Bunda...., aku menyesal melakukan semua kebodohan ini... Jadi bundaku tercinta penyakitnya kambuh karena ulahku. Astagfirullah....

Oleh: Dzikrina Mutiara Yasmin

»»  Teruske Moco Yuk....

SAAT BIDADARIKU PERGI

“Saya terima nikah saya dengan ukhti Hurul’ain Firdausi dengan mahar sekian dibayar tunai....,”

Semua menyaksikan dengan berlinangan air mata dan derai tawa, sekian diantaranya telah menyaksikan ia telah aku nikahi... Allah menjadi saksi diantara kami. “Barrokallohu laka wa barroka alaika wa jama’a bainakuma fii khairii..,” Kuterima lantunan doa dari berbagai pihak. Perempuan disampingku menangis haru. Aku belum mengenal pribadinya secara detail. Aku hanya tahu namanya, itu saja kuperoleh dari temanku. “Ia perempuan shaleha, insyaallah... rajin ngaji, dirumah subhanallah... selalu menundukkan padangan,” katanya waktu itu. Aku sangat berharap ia menjadi bidadariku hingga aku dapat mengetuk pintu firdausinya....

_o0o_

Senja kian memudar... ikatan malam kian erat hawa dingin merasuk pori-pori lenganku. Guyuran air wudlu melelapkan aku dalam perenungan. Baru saja berlalu para tamu undangan. Baru saja hilang suara berisik yang menjejali gendang telinga.
Kulangkahkan kakiku memasuki rumah yang kini menjadi rumah baruku. Terasa sangat asing. Seorang laki-laki berusia setengah abad yang kini menjadi ayahku menjelaskan padaku kamar mana yang kini akan menjadi kamarku. Kamar bersejarah untukku.... kuberanikan kakiku mengetuk pintu dan mengucap salam .... “Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam warohmatulloh...,” suara lembut menggetarkan gendang telingaku, mengirimkan desir cinta ke hatiku. Tetes sejuk selaksa embun pagi mencium hatiku yang resah. Bidadariku yang baru saja aku nikahi itu membuka pintu, lalu mengajakku masuk kamar yang amat istimewa untukku.... jilbab anggun yang dipadukan gaun senada masih melekat di tubuhnya menanti sentuhanku tuk sempurnakan kesuciannya... sebagai istriku tentunya...

_o0o_

“Mas ...,” panggilnya lembut padaku... “Ii...iiya ukhti...,, eh maaf, iya Dek...,” jawabku gugup. Aku menyadari raut wajahku berubah 1800. Tapi aku tidak mampu berkata apa-apa. Aku hanya menatapnya. Ia tersenyum. Bidadariku sangat sempurna. Ia menundukkan pandangan. Aku sangat tolol untuk saat itu... aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan. Dalam diamku dan heningnya malam yang bicara, aku mengajaknya shalat jama’ah. Sesaat kami terlelap dalam kesatuan bersama Robbul Izzati.

Usai sudah kami larut dalam urusan masing-masing. Bidadariku melepas mukenanya dan melipat rapi sekali. Namun jilbabnya masih melekat anggun menutup aurotnya, menanti sentuhanku tuk yang pertama kali.

Allah Maha Cinta, Allah mengirimkan cinta-Nya untukku dan untuk bidadariku... Subhanallah.. Kami ibadah dalam kekusyukan.... kami sangat berharap Allah mengirimkan pahala dan rahmat-Nya untuk kami berdua.

_o0o_

“Allahu akbar... Allahu akbar....”

Subuh merayap menyadarkanku dari lelapnya Istirahat. Kubuka mata “Astagfirrullah!!” seru lidahku dengan bodohnya. Aku baru sadar disampingku ada perempuan yang kini menjadi Istriku. Kukumpulkan semua energiku untuk memenuhi paggilan Allah. Pelan kukecup perempuan itu hingga ia terbangun. Senyumnya kudapat dipagi yang dingin ini.

Aku membisikkan kata cinta dan memberitahunya kalau waktu telah subuh. Sunyi dan sepi yang semalam kami rasakan telah pecah. Kokok ayam jantan kian beradu. Kusempurnakan mandiku lalu kupenuhi panggilan Robb ku.

_o0o_

Renungan demi renungan, ajakan untuk bermuhasabah dan dorongan untuk menjadi yang terbaik selalu bidadariku kirimkan untukku... pesan cinta dan peringatan untuk shalat selalu aku dapatkan hampir di setiap jamnya melalui ponselku... aku sangat mencintainya karena keteguhan dalam agamanya.

“Ya Allah kekalkan cinta kami sampai kesurgamu.... Amin,” doaku di penghujung malam saat aku shalat lail. Selesai aku bermunajat aku menoleh kebelakang. Subhanallah bidadariku tengah bercinta dengan Robb nya, akupun menatapnya syahdu, hingga mata kami berpadu. Cahaya cinta mengalir ke urat-urat tubuhku melalui pembuluh nadiku....

_o0o_

Enam bulan mengantarkan aku dalam penantian, menanti sosok bidadari yang mungkin Allah amanahkan untuk aku dan Istriku. Tapi sampai saat ini aku belum menyadari adanya kehadiran bidadari yang kudamba. Dalam sujudku ku kirim doaku pada Robbulku. Tak lepas dalam heningnya malam, sejuknya pagi aku selalu berharap. Dengan berbekal untaian sabar dan keyakinan aku bertekad hanya Allah tempatku mengadu dan memohon pertolongan.

“Mas....,” panggil bidadariku disuatu siang yang hening. “Iya Dek...,” sahutku. Kini aku telah terbiasa memanggilnya ‘Dek’. Terbiasa hidup bersamanya dalam suka dan duka.

“Anna mau memberi tahu Mas,, tapi Mas jangan kaget, gugup atau semacamnya ya...,” pelan urai bidadariku. “Iya tuturkan, tafadol... insyaallah anna siap...,” sahutku lalu mendekatinya. Kugenggam erat tangannya... kasih sayang sebening cahaya mentari menyentuh sukma terdalamku.

“Anna hamil mas... 2 bulan... ini buktinya,” lembut kata istriku lalu menyerahkan selembar kertas berwarna biru muda. Mataku dengan jeli memandangnya. Jujur seumur hidupku baru kali ini aku memegang dan melihatnya. Pelan mataku menelusur ke tiap ruas huruf, istriku positif hamil.

“Alhamdulillahirrobil’alamin....,” seruku lalu tersungkur sujudku dalam spontan.
“Mas senang?” tanyanya. “Siapa yang tidak senang sayang... bila Allah mengkaruniai kita rezeki... Bapak mana yang tidak suka, kecuali Bapak yang tak bermoral,” kataku disertai senyuman. Aku terlarut dalam cinta Allah di heningnya malam, disemilirnya angin yang berhembus aku menatap istriku nan jelita.

_o0o_

Penantian demi penantian aku lewati. Dari minggu sampai ke bulan. Hingga melewati tri wulan pertama, aku mulai disibukkan dengan ritual-ritual ibu hamil, mulai sering muntah, nafsu makan menurun hingga menginginkan hal-hal yang aneh. Bidadariku sangat lemah sekali. Kecemasan membuncah tapi kupasrahkan pada Allah, selalu rajin aku mengajaknya konsultasi ke ahli gizi dan kebidanan. Subhanallah... dalam keadaan yang sedemikian bidadariku tetap konsekwen dengan shalatnya,, selalu tepat waktu,, sempat aku kagum dengan pribadinya.

Tiba-tiba handphone ku bergetar, message tone meraung merdu. Sebuah pesan dari bidadariku...
Adzan bergetar liukkan batin,, anugrah sempurna telah dapatkan,, karunia Rabbi itu idaman...,,
bergema sudah lantunan adzan,, letakkan pena penuhi panggilan,, Robb mu penguasa keadaan....
Shalat dzuhur dulu Mas... jamaah di masjid jangan lupa... (Adinda yang mencintaimu)
Aku tertawa kecil membaca tiap baris syair dari bidadariku... Ia tidak pernah lupa untuk bertanya “sudah shalat belum? Jamaah tidak?” kata-kata yang membuatku merindukannya di waktu aku bekerja. Itukah cinta???

_o0o_

Menekuri lembaran waktu yang penuh dengan rutinitas membuat raga kian tersiksa. Sesekali Allah menegurku dengan rasa sakit yang mendera. Tiba saatnya detik penantian berujung, detik yang dimana mulai saat itu aku dipanggil “Ayah” oleh si mulut mungil.

Gelisah dan resah kian mematuk hatiku, aku berjalan memutar-mutar di depan kamar bersalin... hanya Allah yang siap menerima lelehan air mataku... aku memasrahkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku ridho jika Allah berkehendak untuk yang terbaik. Kakiku berjalan semau akalku. Kadang bersimpuh, bangkit lalu berjalan tak karuan.

“Keluarga Ibu Firda,” setengah tak percaya aku bangkit dan menjawab spontan. “Ya!”
“Alhamdulillah anak Bapak telah lahir... perempuan... cantik seperti ibunya,” kata dokter yang kusambut dengan dengan kakiku yang bersimpuh sujud syukur. Sekarang aku resmi menjadi ‘ayah’ dulu bidadariku memanggilku ‘Mas’ kini berganti gelar menjadi ‘ayah’. Tanggung jawabku semakin berat.

“Boleh saya lihat anak saya Dok?” kataku memberanikan diri. “Tentu saja bila saatnya telah tiba,, tetapi sebelumnya... kami segenap dokter yang membantu persalinan Ibu Firda, mohon maaf...,” sambung dokter itu bermata syahdu. “Maksud Dokter??” jawabku panik... aku teringat bidadariku... bagaimana nasibnya???
“Istri bapak dipanggil Allah... kami telah berusaha semaksimalnya... tetapi semua sudah di skenario oleh Allah sedemikian rupa... tangan kami tak mampu mencegahnya,” urai Dokter itu, lalu kusambut dengan duduk lunglaiku.... aku tak mampu berkata apa-apa. Hanya uraian air mata yang terus bicara... menjelaskan semuanya.

_o0o_

Aku bertekad harus kuat... tetapi sekuat-kuatnya manusia sepertiku masih ada Allah yang Maha Kuat. Aku sangat yakin Allah mempunyai cinta di setiap cobaan-Nya. Aku harus bisa menghadapinya!! Optimis dan yakin Allah membantuku adalah bekalku... masih ada bidadariku kecilku yang menanti kecupanku di hari selanjutnya... masih ada harapan di cerahnya sinar mentari sepanjang jalan di esok hari... “Ya Allah kuatkan aku...”

end.....
»»  Teruske Moco Yuk....

MAZ ZULFAN, SUAMIKU

Suasana di sebuah Villa tempat ku bulan madu sangat hening, hanya jangkrik malam yang bernyanyi riang. Kesepian itu laksana diri dalam hengkangan gua-gua kegelapan. Hawa dingin mencium dan menyelimuti diri. Walaupun dibalik selimut tebal tapi sungguh malam itu Ku sangat kedinginan. Namaku Mutiara Zaskia, muslimah sederhana yang gemar membaca. Ku tarik jaket dan selimutku dan...
Ku bangun dan berusaha mendudukkan diri dengan segala kekuatan yang tersisa.
Dan Alhamdulillah berhasil. Sekilas ku lirik manusia di sampingku, tidur lelap berselimut tebal, seperti kelelahan. Ia adalah Mas Zulfan Ramadhan suamiku. Saat ini hari Rabu, 1 Juli 2009, Baru dua hari yang lalu kami menikah, dan kini kami berbulan madu selama 1 Minggu di Villa ternama. Dalam pernikahan itu kami dihadiri sanak dan keluarga dari aku juga Mas Zulfan. Aku bahagia akhirnya aku berhasil menyempurnakan separuh agamaku.
Teman-temankupun tak ketinggalan datang, ada Vega, Sari, Donna, dan Refa. Senang rasa hatiku, akhirnya ku menemukan manusia yang bisa menjadi pendampingku untuk selamanya, semoga sampai ke Firdausi-Nya. Insan yang menerimaku apa adanya. Ia Laki-laki yang tegas, tanggung jawab dan sangat cerewet. Manusia yang pandai merangkai kata-kata sehingga membuat aku bosan berbicara dengannya. Ia selalu mengutarakan semua yang ada di pikirannya dan ia rangkai menjadi kalimat-kalimat yang panjang dan lebar. Sungguh muak aku dengan gaya bicaranya, ia tak mau aku selah kalau ia sedang berbicara. Yah aku mencoba untuk menerima ia apa adanya.
Ia cerewet karena ku yang suka membantah setiap ia mengajakku jalan-jalan. Tapi akhirnya akupun nyerah juga, setelah ia merangkai kata-kata yang cukup membosankan. Ia menyusun kata-kata yang menjadi kalimat dan kalimat-kalimat itu seperti sebuah makalah yang siap dipresentasikan dimuka umum. Memang ia berpendidikan S-1 jurusan Komunikasi. Sebenarnya dulu Mas Zulfan menginginkan menjadi Penyiar Radio, tapi rupanya Mas Zulfan alih profesi setelah menikah dengan ku.
Ku lirik jam dinding yang setia di kamarku, ternyata sudah pukul 03.00 pagi. Ku ingat tadi sore Mas Zulfan pesan samaku untuk membangunkannya, karena ia ingin shalat malam. Pelan ku kecup keningnya, dan ia buka mata.
“Sayang....dah jam 03.00 katanya kemarin sore mau shalat malam,” bisikku pelan untuknya.
Dia tersenyum menatapku, akupun tersenyum.
“Makasih ya,” katanya. Lalu ia bangkit dan sepertinya ia ke kamar mandi. Aku mengikutinya bangun tapi tak ikut keluar.
“Mas, maafin adek ya, adek gak bisa menemani Mas Shalat Lail, Adek ingin tidur lagi, Adek masih ngantuk,” kataku malas.
“Dek... jangan tidur dulu tunggu Mas,” katanya sambil kembali ke kamar.
Kulihat Mas Zulfan menuju ke samping Lemari jumbo. Mas Zulfan mengambil handuk, dan sekilas ku dapati matanya melihat ke arahku.
“Emang apa yang dapat Adek bantu untuk Mas?” tanyaku sejurus kemudian. “Mas Zulfan mau mandi, apa gak dingin? Tapi tunggu dulu, Adek mau manasin air untuk mandi Mas, gak papakan tunggu sebentar aja,” kataku sambil memandangnya yang masih berdiri di pintu keluar kamar.
Mas Zulfan tak mengeluarkan kata-kata ia hanya mengangguk pelan, sambil terus memandangiku. Aku jadi bingung dibuatnya.
“Mas ada yang kurang dari Adek? Kok Mas hanya mandang Adek sejak tadi?” tanyaku salah tingkah.
Dia hanya diam tak mengeluarkan suara, dan hanya menggeleng pelan.
“Mas kenapa? Kok jadi pendiam, apa Adek tadi salah membangunkan Mas, atau sekarang Mas sakit?” tanyaku cemas.
“Mas gak papa Dek, cuman Mas minta maaf jadi ngrepotin Adek, dan seharusnya Adek masih nyenyak tidur kini harus bangun dan bantuin Mas menghangatkan air untuk mandi,” kata suamiku.
“Gak papa Mas, itukan tugas Adek sebagai seorang istri,” kataku dan bangun.
Dia tersenyum untukku, dan aku pun membalasnya.
@@@----------@@@
Aku enggan tertawa walaupun Mas Zulfan mencandaiku, kembali ia keluarkan jurus-jurus merangkai kalimat-kalimat yang telah ada di pikirannya. Dan ia mengeluarkan kalimat itu seperti kalimat-kalimat yang layak dimasukkan ke dalam karya ilmiah. Juga dengan kalimat itulah ia bisa membiusku dan berhasil menaklukkan hatiku.
Ingin ku tertawa tapi malu padanya, Aku baru saja selesai adu mulut dengannya, Aku jengkel padanya. Setiap Aku berkata begini ia bisa menjawab, hingga ku putuskan Aku untuk diam, dan Aku tak mau memulai tertawa dahulu. Tanpa ku duga, dia menyentuh pinggangku dan menggelitiknya. Kali ini Ku tak bisa menyembunyikan tertawaku, Aku tertawa dibuatnya.
Ya seperti itulah sosok suamiku kadang menjengkelkan tapi ia juga pandai membiusku dan membuat Aku rindu.
@@@------------@@@
Hari itu hari Minggu saatnya Aku bersantai di Villa, Mas Zulfan pun tak punya acara diluar, hingga kami bisa bersama seharian penuh, begitu pikirku.
Aku dan Mas Zulfan bersantai di teras Villa itu. Sambil menikmati suasana siang, hari itu kami habiskan untuk berdua saja. Ya cukup berdua. Siang itu Aku mengajak Mas Zulfan untuk menyusun Peta Hidup setelah pernikahan kami kelak, Alhamdulillah kami sejalan. Sehingga mudah bagiku untuk merancang Peta Hidup itu.
Langit mendung, seakan-akan ingin memecahkan air matanya. Tiba-tiba langit menangis mencairkan air-air yang sangat dingin. Ku genggam tangannya “Mas...ayo masuk adek dingin, hujannya deres banget,” kataku sambil mengenggam tangannya. Mas Zulfan tersenyum untukku, dan ia menurutiku. Kami masuk villa. Terima kasih Mas Zulfan suamiku.
@@@--------@@@
Karya: YASMIN
Crew. Amany Group
»»  Teruske Moco Yuk....

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More